Rabu, 09 Maret 2011

hubungan manusia dengan budaya dalam ilmu arsitektur

sebelumnya pengertian arsitektur sendiri  secara sempit sebagai seorang perancang bangunan, adalah orang yang terlibat dalam perencanaan,merancang, dan mengawasi konstruksi bangunan, yang perannya untuk memandu keputusan yang memengaruhi aspek bangunan tersebut dalam sisi astetika, budaya, atau masalah sosial. Definisi tersebut kuranglah tepat karena lingkup pekerjaan seorang arsitek sangat luas, mulai dari lingkup interior ruangan, lingkup bangunan, lingkup kompleks bangunan, sampai dengan lingkup kota dan regional. Karenanya, lebih tepat mendefinisikan arsitek sebagai seorang ahli di bidang ilmu arsitektur, ahli rancang bangun atau lingkungan binaan.
Arti lebih umum lagi, arsitek adalah sebuah perancang skema atau rencana.
"Arsitek" berasal dari Latin architectus, dan dari bahasa Yunani: architekton (master pembangun), arkhi (ketua) + tekton (pembangun, tukang kayu).
Dalam penerapan profesi, arsitek berperan sebagai pendamping, atau wakil dari pemberi tugas (pemilik bangunan). Arsitek harus mengawasi agar pelaksanaan di lapangan/proyek sesuai dengan bestek dan perjanjian yang telah dibuat. Dalam proyek yang besar, arsitek berperan sebagai direksi, dan memiliki hak untuk mengontrol pekerjaan yang dilakukan kontraktor. Bilamana terjadi penyimpangan di lapangan, arsitek berhak menghentikan, memerintahkan perbaikan atau membongkar bagian yang tidak memenuhi persyaratan yang disepakati.
Arsitektur adalah seni dan ilmu dalammerancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu , peraencanaan kota, arsitektur lanskep, hingga ke level mikro yaitu desain dan . Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.
Menurut yang baik haruslah memilik Keindahan / Estetika (Venustas), Kekuatan (Firmitas), dan Kegunaan / Fungsi (Utilitas); arsitektur dapat dikatakan sebagai keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut, dan tidak ada satu unsur yang melebihi unsur lainnya. Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis. Namun, dapat dikatakan pula bahwa unsur fungsi itu sendiri di dalamnya sudah mencakup baik unsur estetika maupun psikologis.
Arsitektur adalah bidang multi-dispilin, termasuk di dalamnya adalah dan sebagainya. Mengutip Vitruvius, "Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi dengan proses belajar: dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai karya seni". Ia pun menambahkan bahwa seorang arsitek harus fasih di dalam bidang musik, astronomi, dsb. Filsafat adalah salah satu yang utama di dalam pendekatan arsitektur. ,  adalah beberapa arahan dari filsafat yang mempengaruhi arsitektur.

Teori dan praktik

tidak boleh terlalu ditekankan, meskipun banyak arsitek mengabaikan teori sama sekali. Vitruvius berujar: "Praktik dan teori adalah akar arsitektur. Praktik adalah perenungan yang berkelanjutan terhadap pelaksanaan sebuah proyek atau pengerjaannya dengan tangan, dalam proses konversi bahan  menjadi hasil akhir sebagai jawaban terhadap suatu persoalan. Seorang arsitek yang berpraktik tanpa dasar teori tidak dapat menjelaskan alasan dan dasar mengenai bentuk-bentuk yang dia pilih. Sementara arsitek yang berteori tanpa berpraktik hanya berpegang kepada "bayangan" dan bukannya substansi. Seorang arsitek yang berpegang pada teori dan praktik, ia memiliki senjata ganda. Ia dapat membuktikan kebenaran hasil rancangannya dan juga dapat mewujudkannya dalam pelaksanaan". Ini semua tidak lepas dari konsep pemikiran dasar bahwa kekuatan utama pada setiap Arsitek secara ideal terletak dalam kekuatan idea.

 

  
Permukiman manusia di masa lalu pada dasarnya bersifat rural. Kemudian timbullah surplus produksi, sehingga masyarakat rural berkembang menjadi masyarakat urban. Kompleksitas bangunan dan tipologinya pun meningkat. Teknologi pembangunan fasilitas umum seperti jalan dan jembatan pun berkembang. Tipologi bangunan baru seperti sekolah, rumah sakit, dan sarana rekreasi pun bermunculan. Arsitektur Religius tetap menjadi bagian penting di dalam masyarakat. Gaya-gaya arsitektur berkembang, dan karya tulis mengenai arsitektur mulai bermunculan. Karya-karya tulis tersebut menjadi kumpulan aturan \ untuk diikuti khususnya dalam pembangunan arsitektur religius. Contoh kanon ini antara lain adalah karya-karya tulis oleh Vitruvius,  
Pada masa pencerahan, humaniora dan penekanan terhadap individual menjadi lebih penting daripada agama, dan menjadi awal yang baru dalam arsitektur. Pembangunan ditugaskan kepada arsitek-arsitek individual - , ,  - dan kultus individu pun dimulai. Namun pada saat itu, tidak ada pembagian tugas yang jelas antara seniman, arsitektur, maupun insinyur atau bidang-bidang kerja lain yang berhubungan. Pada tahap ini, seorang seniman pun dapat merancang jembatan karena penghitungan struktur di dalamnya masih bersifat umum.
Bersamaan dengan penggabungan pengetahuan dari berbagai bidang ilmu , dan munculnya bahan-bahan bangunan baru serta teknologi, seorang arsitek menggeser fokusnya dari aspek teknis bangunan menuju ke . Kemudian bermunculanlah "arsitek priyayi" yang biasanya berurusan dengan bouwheer (klien)kaya dan berkonsentrasi pada unsur visual dalam bentuk yang merujuk pada contoh-contoh historis. Pada abad ke-19,  di Prancis melatih calon-calon arsitek menciptakan sketsa-sketsa dan gambar cantik tanpa menekankan konteksnya.
Sementara itu,  membuka pintu untuk konsumsi umum, sehingga estetika menjadi ukuran yang dapat dicapai bahkan oleh kelas menengah. Dulunya produk-produk berornamen estetis terbatas dalam lingkup keterampilan yang mahal, menjadi terjangkau melalui produksi massal. Produk-produk sedemikian tidaklah memiliki keindahan dan kejujuran dalam ekspresi dari sebuah proses produksi.
Ketidakpuasan terhadap situasi sedemikian pada awal abad ke-20 melahirkan pemikiran-pemikiran yang mendasari arsitektur modern, antara lain, (dibentuk 1907) yang memproduksi obyek-obyek buatan mesin dengan kualitas yang lebih baik merupakan titik lahirnya profesi dalam bidang . Setelah itu, sekolah  (dibentuk di Jerman tahun 1919) menolak masa lalu sejarah dan memilih melihat arsitektur sebagai sintesa seni, ketrampilan, dan teknologi.
Ketika Arsitektur Modern mulai dipraktekkan, ia adalah sebuah pergerakan  dengan dasar moral, filosofis, dan estetis. Kebenaran dicari dengan menolak sejarah dan menoleh kepada fungsi yang melahirkan bentuk. Arsitek lantas menjadi figur penting dan dijuluki sebagai "master". Kemudian arsitektur modern masuk ke dalam lingkup produksi masal karena kesederhanaannya dan faktor ekonomi.
Namun, masyarakat umum merasakan adanya penurunan mutu dalam arsitektur modern pada tahun antara lain karena kekurangan makna, kemandulan, keburukan, keseragaman, serta dampak-dampak psikologisnya. Sebagian arsitek menjawabnya melalui dengan usaha membentuk arsitektur yang lebih dapat diterima umum pada tingkat visual, meski dengan mengorbankan kedalamannya.  berpendapat bahwa "gubuk berhias / decorated shed"  biasa yang interior-nya dirancang secara fungsional sementara eksterior-nya diberi hiasan) adalah lebih baik daripada sebuah "bebek / duck" ( di mana baik bentuk dan fungsinya menjadi satu). Pendapat Venturi ini menjadi dasar pendekatan Arsitektur Post-Modern.
Sebagian arsitek lain (dan juga non-arsitek) menjawab dengan menunjukkan apa yang mereka pikir sebagai akar masalahnya. Mereka merasa bahwa arsitektur bukanlah perburuan filosofis atau estetis pribadi oleh perorangan, melainkan arsitektur haruslah mempertimbangkan kebutuhan manusia sehari-hari dan menggunakan teknologi untuk mencapai lingkungan yang dapat ditempati.yang melibatkan orang-orang seperti  mulai mencari proses yang lebih inklusif dalam perancangan, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Peneilitian mendalam dalam berbagai bidang seperti perilaku, lingkungan, dan humaniora dilakukan untuk menjadi dasar proses perancangan.
Bersamaan dengan meningkatnya kompleksitas arsitektur menjadi lebih multi-disiplin daripada sebelumnya. Arsitektur sekarang ini membutuhkan sekumpulan profesional dalam pengerjaannya. Inilah keadaan profesi arsitek sekarang ini. Namun demikian, arsitek individu masih disukai dan dicari dalam perancangan yang bermakna simbol budaya. Contohnya, sebuah museum senirupa menjadi lahan eksperimentasi gaya sekarang ini, namun esok hari mungkin sesuatu yang lain.
Selama ini dikenal tiga khasanah teori yang diakui ada dalam dunia arsitektur. Pertama, teori
tentang arsitektur (theory about architecture) bersifat memaparkan tentang what is architecture menurut
posisi teoritis arsitek dan paradigma yang dianutnya. Kedua, teori di dalam arsitektur (theory in
architecture) berupa teori “apa saja” yang digunakan oleh para arsitek dalam praktik profesionalnya.
Ketiga, teori arsitektur (theory of architecture) yakni sebentuk teori yang khas arsitektur, mirip teori atom
atau teori gravitasi yang muncul serta berlaku dalam ilmu fisika. Teori arsitektur jenis ketiga ini
sebenarnya lebih tepat berada dalam kategori theory on architecture, yang menunjukkan adanya
academic sense daripada theory about architecture. Meskipun demikian, theory on architecture akan
muncul dari adanya theory about architecture, sebagai konsekuensi logis dan menjadi substansi dari
paradigma arsitektur yang dianut seorang pencetus teori.
Dalam pemahaman dunia akademik, suatu teori dikenal memiliki tiga sifat, yakni eksplanatif, prediktif,
dan kontrol. Teori dengan pengertian semacam itu umumnya berlaku bagi teori – teori dalam ilmu
(scientific theories), namun tidak berlaku dalam dunia arsitektur. Teori dalam dunia arsitektur bersifat
unscientific, spekulatif, subyektif, terkait dengan eksplanasi konsep desain, merupakan tuntunan
praktik, atau iluminasi tentang suatu desain arsitektur. Teori dalam arsitektur tidak mampu memberikan
jaminan keberhasilan prediksi seperti halnya teori dari khasanah ilmu. Dengan demikian, arsitektur
hanya akan mendukung status quo, menciptakan yang lama dalam situasi baru, maka tidak mampu
menjadi sarana emansipatori kehidupan manusia. Oleh karenanya, arsitektur tidak dapat lagi
menggunakan teori tradisional atau bersifat spekulatif saja karena tidaklah memadai untuk praktek
arsitektur kini dan masa depan.
Arsitektur hingga kini telah semakin terlibat di dalam kehidupan masyarakat, bahkan menjadi
sarana bagi penyelesaian problematika kehidupan manusia, maka sudah selayaknya tidak hanya
menggunakan teori – teori yang bersifat spekulatif, melainkan perlu dilandasi dengan nilai - nilai etis.
Arsitektur semestinya mampu menjadi sarana emansipatori manusia, yakni pembebasan dari
kealamiahan manusia maupun dari rintangan yang dibuatnya sendiri. Hal itu berarti, arsitektur yang
mau menjadi sarana emansipatori manusia hendaknya selalu berada di dalam diskursus tanpa henti
dengan pengalaman praktik (dimensi empiris) maupun dengan teori - teori (dimensi transenden). Dunia
arsitektur harus menyadari bahwa kebenaran yang telah ditemukan (dibekukan menjadi teori)
sebenarnya bersifat tentatif, dan hanya dengan refleksi dua kutub, maka kebenaran sejati makin
menampakkan diri. Arsitektur perlu belajar dari pemikiran Juergen Habermas, menjadi arsitektur yang
kritis karena hendak bersifat emansipatoris. Arsitektur semestinya tidak semata – mata berada di dalam
paradigma ilmu – ilmu empiris – analitis, atau ilmu – ilmu historis – hermeneutis, sebaiknya juga
dilandasi paradigma ilmu – ilmu tindakan yang berkepentingan emansipatoris.
Implikasinya, teori - teori dalam dunia arsitektur hendaknya selalu berada dalam kondisi dinamis,
senantiasa direfleksikan terhadap cita - cita etis dan emansipatori manusia karena teori yang berubah
menjadi ideologi atau mitos akan memutlakkan kebenaran - kebenaran ideologis serta menolak
pemikiran - pemikiran kritis. Teori semacam itu potensial menjadi pembatas gerak bagi kelestarian
kehidupan. Teori arsitektur meskipun berkembang di dalam sejarah arsitektur, dialektika teori – praksis,
dan di dalam kritikisme, sebenarnya menjadi bagian dari sejarah perkembangan ilmu - ilmu. Teori
2
dalam arsitektur perlu selalu diinteraksikan dengan teori dalam bidang - bidang ilmu lain, sehingga
memiliki kekuatan yang makin efektif sebagai sarana emansipatoris. (ydp.251200)
PENDAHULUAN
Arsitektur berkembang tidak di dalam ruang hampa, melainkan ada di dalam konteks kehidupan
masyarakat. Seperti pada ilmu – ilmu lain, keadaannya selalu berkaitan dengan dinamika kehidupan
masyarakat. Hal itu berarti terdapat hubungan timbal balik antara arsitektur dengan kehidupan
masyarakat. Arsitektur dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat, demikian pula sebaliknya. Dengan
demikian, arsitektur kadang menjadi obyek dan kadang juga menjadi subyek dalam konteks hubungan
timbal balik itu. Sebagai subyek, seringkali arsitektur memiliki peran menentukan perubahan
masyarakat, melalui karakteristik obyek – obyek arsitektur yang muncul, baik berupa bangunan,
maupun tata ruang luar pada berbagai tingkat keadaan (skala).
Arsitektur dalam konteks perubahan masyarakat : mungkinkah perubahan sosial masyarakat
melalui partisipasi arsitektur ? Menurut Victor Papanek (1984), perancang menghadapi dilema etikal
yakni antara profit dan tanggung jawab sosial (38), sedangkan desain & desainer harus memiliki
kontribusi dalam kehidupan nyata manusia dan sosial (39). Hal itu menunjukkan bahwa peran
perancang (arsitek) berada di dalam ketegangan diantara dua kutub, yakni kutub ideal dan kutub
kehidupan nyata.
Menurut, Evans, Powell & Talbot (1982), perancang (arsitek) adalah agen perubahan (3) dan
erancang harus memikirkan dampak jangka panjang rancangannya pada kehidupan manusia (3). Juga
dikatakan bahwa desain dalam konteks sosial hendaknya bukan hanya suatu ungkapan diri,
seyogyanya melayani masyarakat (6). Dengan demikian, hakekat desain harus diubah ke arah plural
view (interdiciplinary approach).
Permasalahannya : bahwa tujuan perubahan masyarakat adalah menuju masyarakat yang
sempurna, bebas dari penindasan, pembelengguan, keterbelakangan, maka desain seharusnya
mengandung maksud emansipatoris (ide dasar Marx, 1867). Pertanyaannya adalah (1) Bagaimana
landasan rasional desain yang bertujuan emansipatoris ? (2) Paradigma atau teori arsitektur manakah
yang memadai sebagai landasannya ?.
Teori Kritis versi Juergen Habermas dapat dipertimbangkan menjadi alternatif untuk membangun
kesadaran baru berarsitektur.Teori positivistik menceriterakan keadaan secara apa adanya,
merumuskan realitas obyektif (“bebas nilai”). Teori positivistik sebagai landasan aksi akan menghasilkan
kenyataan obyektif lama muncul dalam konteks baru (status quo). Teori positivistik bersifat ideologis
dan apabila menjadi landasan aksi akan menciptakan dilema usaha manusia rasional yang terjebak
irasionalitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar